Rabu, 08 April 2015

Profile Dra. Hj. Helma Munaf, M.Pd



Dra. Hj. ELMA MUNAF, MPd

Awal kiprahnya di Batam dimulai sejak tahun 1976 saat mendampingi sang suami yang bekerja di Pertamina. Menyelesaikan pendidikan sarjananya Tahun 1980, Dra. Helma Munaf kemudian mengajar SMP Kartini. Tahun 1980 hingga 1985 Helma juga mengabdikan baktinya di Yayasan Ibnu Sina.

Bersama sebelas rekannya, Wanita Kelahiran Padang Panjang 5 Agustus 1951 ini kemudian mendirikan yayasan yang di beri nama Al azhar Batam.  Kegigihannya Helma membangun sekolah Al azhar di tunjukkannya ketika mencari dana pembangunan sekolah hingga berceramah ke Singapura.

Kerja kerasnya kini mebuahkan hasil Sekolah Alazhar kini telah memiliki 10 sekolah di tiga lokasi dengan murid mencapai 2. 556 siswa. Menurutnya kemajuan teknologi dan perkembangan zaman harus  diimbangi dengan akhlak dan budi pekerti yang baik yang ditanamkan di sekolah.

Tahun 1998, ibu dua orang putri ini  meraih  penghargaan sebagi guru teladan kota Batam tingkat SMP. Tahun 2012 Helma Munaf mendapat penghargaan sebagai Kepala Sekolah SMK Terbaik dan pada tahun yang sama Helma juga terpilih sebagai Ketua Yayasan berprestasi oleh International Human resources Developmen Program.



Pendiri Yayasan Islam Al Azhar








Sosok wanita satu ini sudah tak asing lagi di mata masyarakat Batam. Dia dikenal karena kiprahnya dalam memajukan pendidikan di Batam.
Ya, wanita yang dimaksud itu adalah Dra Hj Helma Munaf MPd. Wanita kelahiran Padang Panjang, 5 Agustus 1957 ini, kini sudah membuat Yayasan Islam Al Azhar semakin berkibar.
Saat ini, telah berdiri sebuah sekolah Islam terpadu, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak, SD, SMP, SMA dan SMK. Bahkan, dalam waktu dekat akan berdiri sebuag perguruan tinggi.
Tidak mudah bagi Helma meraih apa yang kini sudah diraihnya itu. Helma menceritakan, dia datang ke Kota Batam tahun 1976. Di tahun itu, ia mengawali karirnya sebagai guru di Sekolah Kartini Batam. Saat itu, Helma muda hanya digaji puluhan ribu rupiah saja.

Menjadi guru di Sekolah Kartini Batam, hanya dilakoninya dalam setahun. Selanjutnya, Helma diajak pemilik Yayasan Ibnu Sina, Andi Ibrahim, untuk menjadi kepala sekolah.

Cukup banyak jasa-jasa Helma memajukan sekolah Ibnu Sina. Di yayasan itu, Helma bertahan hingga lima tahun. Setelah itu, ia keluar dan memutuskan mendirikan sekolah sendiri, sesuai cita-citanya sejak awalnya.

Tahun 1986, Helma mendirikan sekolah dengan 4 lokal. Mulai dari TK yang waktu itu hanya memiliki murid 9 orang siswa saja, SD 13 siswa, serta SMP 14 siswa. Tragisnya, saat itu sekolah yang didirikan Helma mirip seperti sebuah gubuk yang berdindingkan kayu. Gubuk sekolah itu letaknya menempel pada sinding sebuah rumah warga di bilangan Jodoh, Batam.

Kondisi seperti itu tidak membuat Helma patah arang. Sebaliknya, malah semakin terpacu untuk menggalang dana demi mewujudkan sebuah sekolah yang layak.

Kesempatan mencari dana akhirnya datang juga. Berkat rekomondasi temannya, Helma  akhirnya  mendapat tawaran untuk menjadi seorang penceramah keagamaan di masjid Singapura. Maklum, selain menjadi seorang guru agama, Helma juga dikenal sebagai ustadzah yang kerap mengisi ceramah keagaman di berbagai masjid di Batam.

Menjadi penceramah di Singapura merupakan tantangan bagi Helma. Pasalnya, dia harus berpisah sementara waktu dengan suami dan kedua anaknya.

"Tekad saya membangun sekolah di Batam. Malah saya pernah tak memperhatikan soal makan dan minum ketika jadi penceramah di Singapura," kata Helma mengenang masa-masa sulitnya dulu.

Hampir 60 kali Helma melakukan ceramah di Singapura. Merasa cukup dengan uang yang telah diperolehnya, Helma pun lantas memutuskan kembali ke Batam.

Ia pun mulai mendirikan bangunan sekolah. Sama, sekolah yang didirikannya diawali membuka 4 lokal dulu. Namun, sekolah baru yang didirikannya tak lagi berada di bilangan Jodoh, tapi di Baloi Indah. Hingga kini sekolah yang didirikannya itu masih kokoh berdiri di Baloi Indah.

Singkatnya, semakin hari sekolah yang ia bina semakin berkembang. Itu juga tak terlepas dengan semangat Helma yang terus mencari donatur, menggalang dana untuk perbaikan bangunan sekolah.

"Malahan saya pernah melakukan ceramah dari rumah ke rumah dengan bayaran alakadarnya. Akhirnya menginjak tahun 1987, saya sudah mampu membangun 8 lokal lagi. Saat itu yang menjadi donatur tetap kami adalah PT Eskarada," tuturnya.

Memasuki tahun 1988, Helma mencoba membuka sekolah yang sama berlokasi di Tiban. Seiring kemajuan sekolahnya itu, maka tahun 2000, ia mencoba mendirikan SMA dengan 3 lokal, serta sekolah TK, SD dan SMP di kawasan Batuaji. Selanjutnya satu tahun  kemudian, tepatnya tahun 2001, Helma mendirikan SMEA yang sekarang menjadi SMK dengan dua jurusan.

"Masa-masa sulit tak terpikir oleh saya keuntungan, bahkan gaji juga tak saya terima. Saat itu yang ada dibenak saya, bagaimana sekolah ini bisa maju dan berkembang, serta melahirkanan anak didik yang cerdas," ujar Helma.

Helma di kalangan guru sudah terkenal sebagai sosok wanita tangguh. Di samping itu, Helma juga dikenal sebagai orang yang memiliki kemampuan mengelola organisasi. Sedikitnya Helma mencatat, dia pernah memimpin 20 organisasi.

Bagi alumni IAIN Padang ini, berkecimpung dalam dunia pendidikan didasari atas dorongan dirinya sejak menjadi siswa SPGA di Padang. Dan juga karena orang tuanya yang juga sebagai figur yang paham tentang pendidikan agama Islam.

Saat ini, sekolah yang dirintis Helma telah maju dan berkembang, malah telah terakreditasi A mulai dari tingkatan dan jurusan yang diterapkan. Meski keinginan Helma telah tercapai, namun masih saja ada yang menganjal dalam dirinya.

"Saya ingin mengajak para orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Harapannya agar anak-anak kita bisa berprestasi dan hidup lebih sejahtera," kata  istri dari Insafri Umar, pensiunan Pertamina Batam ini mengakhiri. (arment) [Sumber, Haluan Kepri.com]




Helma Munaf, Penerima Anugerah Batam Madani Bidang Pendidikan


Gadaikan Rumah Demi Mendirikan Sekolah & Yayasan Al Azhar
YERMIA RIEZKY, Batam
Perjuangan Helma Munaf membangun Yayasan Al-Azhar tak mudah. Di masa awal, ia kerap turun meminta infak pada warga bahkan menggadaikan rumahnya.

Helma Munaf. F Yermia Riezky
Ratusan anak sekolah tingkat SD sampai SMA hilir mudik di halaman komplek sekolah Al-Azhar, Baloi Indah, Jumat (21/12/2012) menjelang salat Jumat. Jam pelajaran berakhir. Sebagian siswa berpakaian melayu itu mulai menunggangi motor yang diparkir di luar pagar sekolah.

SMP 1 Al Azhar, di Baloi, Batam, Minggu 23 Juni 2013. F Suprizal Tanjung
Sekolah yang terletak di samping SPBU Baloi Indah itu merupakan hasil ceramah Helma Munaf di Singapura pada Oktober 1987. Selama dua bulan dia berkeliling Negeri Singa itu, wanita kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat (Sumbar) 5 Agustus 1951 ini menyampaikan 60 ceramah dari lapangan sampai ke gang sempit.


Infak yang didapat dari ceramah dan dari beberapa warga Batam membuat Helma bisa membangun delapan lokal sekolah di lokasi itu. Jumlah ini menambah empat lokal pertama sekolah Al-Azhar yang dirintis pada 1986.

Helma, salah satu pendiri sekolah Al-Azhar Batam, tak bisa lepas dari lembaga pendidikan itu. Kegigihannya membangun instusi itu yang membuat sekolah Al-Azhar dapat terus berkarya selama lebih dari 26 tahun.  Selain berceramah, dana dikumpulkan Helma dengan menggadaikan hartanya.
Kini, Yayasan Al-Azhar memiliki 104 lokal permanen dengan total nilai aset mencapai Rp 27 miliar. Ribuan orang telah dibentuk dan lulus dari sekolah ini. Sementara saat ini, sekolah-sekolah Al-Azhar tengah mendidik 2.553 siswa dan memiliki 172 tenaga pengajar.

Kegigihan dan ketegaran Helma membangun salah satu lembaga pendidikan tertua di Batam itu membuat Pemerintah Kota Batam menganugerahkan penghargaan Batam Madani 2012, yang diberikan bertepatan dengan HUT Batam ke-183, pada 18 Desember 2012. Helma merupakan satu-satunya wanita yang menerima penghargaan bersama sembilan tokoh dari berbagai bidang yang berjasa bagi perkembangan Batam.
***

Keinginan wanita kelahiran Padang Panjang, 5 Agustus 1951 ini untuk mengajar muncul sejak usia remaja. Tepatnya saat ia masih duduk di Madrasah Tsanawiah Muhammadiyah Padang Panjang. Ketika duduk di Kelas 3, Helma sudah berpikir ingin jadi apa dirinya kelak.
“Saya berpikir, kalau jadi orang kantoran takut dicolek-colek bos. Kalau jadi penceramah, bakal tak diizinkan suami. Ya mending saya jadi guru saja,” katanya kepada Batam Pos, Jumat (21/12/2012).

Helma menyelesaikan pendidikannya di MTs pada 1969 dengan predikat juara umum. Untuk mewujudkan cita-citanya sebagai guru, Helma lalu mendaftar ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN). Setelah dua tahun Helma lulus di PGAN. Terbilang cepat, karena umumnya orang menyelesaikan pendidikan dalam waktu enam tahun. Helma kemudian melanjutkan ke Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah (UM) Padang Panjang yang berlokasi di kompleks Kauman. di tahun 1972.

Pada tahun pertama, Helma sudah diminta mengajar di MTs karena ia lulus dari sekolah itu dengan predikat juara umum. Helma pun diminta berceramah di sejumlah daerah di Sumatera Barat. Di samping itu, ia ikut dalam berbagai organisasi. Salah satunya adalah Nasyiatul Aisyah (NA), organisasi otonom yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, dan keputrian Muhammadiyah. Pengalaman-pengalaman itu memantapkan tekadnya .

“Saya ingin berjihad sungguh-sungguh lewat pendidikan, organisasi, dan ceramah,” kenang Helma.
Helma menamatkan pendidikan di UM Padang Panjang pada 1975. Dalam sebuah muktamar di Padang Panjang, Helma ditawari sebagai staf dekanat UM Padang Panjang. Namun, tawaran itu urung diambil Helma karena di tahun 1976 ia memutuskan menerima pinangan Insyafri Umar.

Keputusan Helma ternyata mengecewakan sebagian pengurus perguruan tinggi di komplek Kauman itu. Helma mendapat kabar, ia akan dijodohkan dengan seseorang di sana.
“Tapi jodoh itu kan kehendak Allah, jadi saat saya diberikan bapak (Insyafri) tidak mungkin saya tolak,” katanya. Karena tak ingin menimbulkan polemik, Helma kemudian meninggalkan Padang Panjang menuju Batam mengikuti sang suami yang bekerja di Pertamina.
Sesampainya di Batam, jiwa pendidik Helma terketuk. Saat itu hanya dua sekolah yang berdiri di Batam. Dua sekolah itu adalah SD Negeri di Tanjunguma dan Sekolah Budi Utama di Jodoh. Ia ingin ikut mengembangkan pendidikan di Batam.
Namun sebelum itu terwujud, Helma ingin merampungkan pendidikannya dengan meraih gelar Doktoranda (Dra). Atas kesepakatan Insyafri, setelah melahirkan anak pertama Helma berangkat ke Padang mengikuti pendidikan di IKIP Padang.

Dua tahun kuliah, gelar Dra. akhirnya direngkuh Helma. Saat itu, IKIP Padang menawari Helma sebagai dosen. Tapi tawaran itu ditolak Helma. “Saya harus ikut suami ke Batam,” kata dia.
Kembali ke Batam, Helma melanjutkan karirnya sebagai guru di Sekolah Kartini pada Mei 1980. Baru beberapa bulan mengajar, putri Helma sakit dan harus dirawat di Jakarta. “Karena lama di Jakarta menunggui anak, saya diberhentikan dari Kartini,” ujar Helma.
Tak lanjut di Kartini, Helma kemudian masuk di Yayasan Ibnu Sina. Kemampuannya dalam berorganisasi membuat Helma dipercaya mengemban tugas memimpin sejumlah bagian di yayasan tersebut. Selama lima tahun sajak 1980 sampai 1985, ibu dua anak ini menjadi mandataris ketua yayasan, ketua seksi pendidikan, dan kepala beberapa sekolah di bawah naungan yayasan tersebut.
Selama berkarya di Ibnu Sina, Helma mendirikan MIN dan MTs di Bengkong. Dia juga merintis berdirinya TK Ibnu Sina.

“Selama di Yayasan Ibnu Sina saya menjadi kepala di lima sekolah,” kata Helma. Terakhir, ia merangkap jabatan sebagai Direktris merangkap kepala SD dan SMP Ibnu Sina.
Lima tahun di Yayasan Ibnu Sina, Helma meletakkan jabatan sebagai direktris di pada November 1985. Saat meletakkan jabatan, Sekolah Kartini sempat menawari dia kembali bergabung.
Pemerintah pun saat itu menawarinya mengajar di sekolah negeri karena Helma berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak 1982. Namun, Helma menolak tawaran itu. Tekadnya bulat.
“Saya ingin membangung sekolah baru,” katanya kala itu.
Bersama sejumlah teman dan suaminya, Helma akhirnya berhasil mendirikan Yayasan Al-Azhar pada 15 Januari 1986. Usai mendirikan Yayasan, ia mencari dana untuk membangun sekolah. Tak lama, dana diperoleh dari pengusaha Daniel Burhanudin. Perjuangan pun ia lakukan dengan turun langsung ke jalan meminta infak masyarakat.

Usahanya pun menuai hasil. Pada Juli 1986, empat lokal sekolah Al-Azhar berdiri. Sekolah berdinding kayu itu digunakan untuk menampung siswa TK, SD, SMP. “Muridnya sekitar 40 dan guru yang mengajar delapan orang,” ungkap Helma.

Setelah setahun lebih, Helma melihat ada peluang untuk mengembangkan sekolah, tapi yayasan tak punya cukup dana. “Pada bulan Oktober 1987, saya ke Singapura berceramah mengumpulkan dana,” kata Helma.
Ada empat orang yang mendukung perjalanan Helma. Mereka adalah setyoraharjo, Usman Ahmad, Tengku Azhari Abbas, dan Al Hilal Yahya. Selain mereka, Helma sangat terbantu oleh pasangan keluarga asal Singapura, Haji Sumeri dan Hajah Soimah.

Perolehan dana dari ceramat ternyata tak menutupi seluruh biaya. Helma masih harus turun ke warga di Batam, meminta infak untuk pembangunan. Tapi, usaha itu berbuah manis karena dari usaha itu Yayasan mampu membangun delapan lokal baru di Baloi Indah. Perjuangan lain dalam membangun sekolah itu adalah mencari dana untuk membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).

“Untuk membayar UWTO saya harus menggadaikan rumah salah satu pendiri yayasan, Bustaman Rahman ke salah satu pengusaha. untuk menggantinya, saya dan istri Bustaman berkeliling mencari infak dari masyarakat,” kata Helma.

Dalam perkembangannya, Helma mampu meminta bantuan pemerintah untuk mendirikan sekolah. Sejumlah sekolah baru di bawah Yayasan Al-Azhar pun bermunculan. Sampai saat ini yayasan memiliki 13 sekolah di tiga lokasi yakn di Baloi Indah, Tiban, dan Batuaji. Selama mendirikan berbagai sekolah, tantangan terberat yang dihadapi Helma adalah masalah dana.
“Saya sering menggadaikan rumah sendiri, rumah anak, atau apotik milik keluarga,” kata Helma.
Selain itu pengurus yayasan yang tak berfungsi optimal jadi kendala. Dinamika ini terjadi hampir sepanjang perjalanan yayasan.
“Di tahun-rahun pertama saya yang kepala sekolah SMP kerap merangkap menjadi pencari dana, mengurusi yayasan, dan mendirikan sekolah,” kenang Helma.

Baru beberapa tahun terakhir, kata Helma, pengurus yayasan bisa bekerja sesuai fungsinya.
Dengan banyaknya sekolah, murid, dan tenaga pengajar yang dimiliki Al-Azhar, Helma mengungkapkan beberapa kiatnya. Dalam perjalanan yayasan Al-Azhar hampir 27 tahun, manajemen harus dijalankan dengan transparan berdasarkan kekeluargaan. Manajemen juga harus berlandaskan iman dan takwa.
Secara pribadi Helma memberikan contoh dalam berkarya, yakni berusaha untuk disiplin, loyal, tulus dan mampu bekerja sama.
“Jangan mudah mengeluh walaupun tugas kita banyak. Dulu saat saya merangkap enam pekerjaan, saya hanya digaji untuk satu kerjaan,” kata dia.

Selama 32 tahun berkarya di dunia pendidikan Batam, Helma sangat bersyukur karena mendapat izin Departemen Agama (sekarang Kementerian) Kota Batam berkarya di dunia pendidikan. “Karena itu saat saya menerima penghargaan Batam Madani, saya sangat berterima kasih pada Depag,” katanya.
Sebelum mendapat Batam Madani, Helma pernah mendapat sejumlah penghargaan. Antara lain adalah Guru Teladan Kota Batam tahun 1998, Perempuan Inspirasional dan Tokoh Pendidik Kepri dari Partai Keadilan Sejahtera. Di tahun 2012 ya juga mendapat penghargaan dari International Human Resources Development Program sebagai Kepala Sekolah SMK Berprestasi.

Meski saat ini Helma sudah mengurangi kegiatan berceramahnya, ia tidak bisa meninggalkan dunia pendidikan. Ketua Yayasan Al-Azhar itu memiliki cita-cita besar bagi Batam.
“Saya ingin membangun pendidikan Batam dan Kepri, supaya bisa bersaing di dunia,” ujar Helma. ***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar